Minggu, 02 September 2012

PETANG BUKAN MALAM

 Bismillahhirrahmanirrahim. 
“Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang di kehendaki-Nya, barang siapa yang di beri-Nya hikmah itu berarti dia telah mendapatkan kebaikan. Dan hanya orang yang mau berfikirlah yang dapat mengambil pelajaran “ bunyi surat Al-Baqarah ayat 269 ini terdengar dalam telinga Rahma saat ini. Ia sedang mendengarkan radio dari ponselnya, perjalanan yang cukup lama di isinya dengan mendengarkan radio agar tidak terlalu bosan dalam perjalanan.
Ternyata mereka telah sampai di depan jalan sekolah, Rahma kemudian turun dari mobil. Ia langsung megambil barang-barangnya kemudian berjalan menunju ke sekolah. Tubuhnya masih cukup lelah untuk berjalan walau beberapa meter saja. Liburan lima hari ke Yogyakarta masih berbekas kala itu. Saat ini waktu menunjukkan pukul 4 pagi menuju waktu subuh. Tak banyak yang menyempatkan diri untuk sebentar saja berada di sekolah atau untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah di sekolah. Kebanyakan dari mereka berniat menunggu penjemput untuk segera  pulang ke rumah. Maklum, sekitar dua belas jam perjalanan dari Yogya menuju Jakarta dengan sebelumnya sudah sejak pukul delapan pagi mereka check out dari hotel. Kemudian mereka melanjutkan jadwal kunjungan yang harus di kerjakan. Merupakan sebuah perjalanan yang melelahkan namun sangat menyenangkan.
Adzan subuh telah berkumandang. Rahma, beberapa teman dan guru-guru sekolahnya langsung melaksanakan shalat subuh berjama’ah di musholah. Selepas shalat ternyata ibunda Rahma telah berada didepan gerbang sekolah untuk menjemputnya.
Rahma melihat jalanan yang cukup lengang dan kosong di sepanjang perjalanan. Hari yang masih pagi di hari libur menyebabkan kemacetan belum terjadi di Jakarta. Ibu memboncengi Rahma dengan sepeda motor kala itu, jadi seluruh kehidupan terlihat jelas dalam penglihatan matanya. Jalan masih gelap karena matahari memang belum menampakkan dirinya di Jakarta. Tetapi cahaya lampu cukup untuk menmbantu perjalanan sampai ke rumah.
Sepanjang perjalanan benak Rahma mulai berparadigma, dari balik cahaya terlihat sedikit bayang-bayang kehidupan. Orang-orang yang hidup di dunia ini namun sering kali terabaikan dan di lewati dengan begitu saja. Sebelum perjalanan ini –pun, telah ada sepenggal bayangan yang di lewati oleh mata Rahma dalam gelapnya subuh hari ini.
Setelah turun dari mobil dan sebelum sampai di depan gerbang sekolah ia melihat seseorang di pagi buta itu. Seorang yang telah bercucur keringat dan perjuangan, ia adalah seorang penyapu jalan raya. Selintas mata ini hal yang cukup biasa, tetapi dalam selintas fikir ini di luar dari biasa. Pernahkah terfikirkan di subuh hari banyak orang yang sulit bahkan harus tergopoh-gopoh untuk bangun mengerjakan 2 rakaat shalat. Tetapi seseorang ini telah menyapui jalan dengan tenaga dan keringat yang penuh dengan harapan. Banyak sekali orang yang masih dalam keadaan mata yang jelek dan berdiri yang lesu untuk megucap takbir kepada Allah swt. Tetapi seorang ini telah bersiap sebelum subuh berkumandang menuju harinya dan menyambut gemuruh adzan, Subhanallah.
Tanpa sadar, hari-hari kita ini harus merasa malu pada hal seperti ini yang jarang sekali orang mau untuk berusaha memikirkan dan merenungkannnya. Membiarkan hidup kita terlenan pada apa yang telah kita lakukan tanpa belajar banyak lagi pada orang lain atau alam sekitar kita. Padahal Allah telah menyuruh kita untuk menjadikan setiap kehidupan adalah pelajaran.
Jalan-jalan telah terlintas, mata Rahma kini terjatuh pada seorang ibu yang duduk lesehan dengan tumpukan sayuran di depannya. Dalam selintas mata ini sudah biasa, ibu penjual sayur yang berjualan sayur di pagi hari. Karena kalau ibu ini berjualan di siang hari pastilah sayur sudah menjadi layu dan tidak segar. Tetapi balik layar seorang ibu pastilah tidak mungkin biasa. Sebelum waktu subuh, ibu terbangun dalam lelap anak-anaknya. Ibu membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suaminya. Kemudian ibu pergi ke pasar bersama bapak yang belum berangkat bekerja untuk mencari sayuran. Sesampainya di pasar, ibu memilih sayur  kemudian bapak yang akan memanggulnnya. Setelah semua di rasa cukup, di bawalah sayur ke tempat penjualan, yaitu emperan toko yang belum membuka. Sungguh, bukankah keringat itu menetes sebelum waktu subuh?.
Rahma menjadi berfikir, begitu banyak anak bangsa seperti dia yang sulitnya untuk berterimakasih kepada ibu untuk setiap subuh hari yang telah terjadi. Ibu yang telah membangunkan mereka dari alam mimpi untuk sekedar dua rakaat  kewajiban mereka atau untuk keharusan mereka bersiap diri menyambut kehidupan. Dan  bahkan tanpa sadar banyak dari mereka yang berkemul kembali tanpa memperdulikan suara ibu yang tersamar bunyi minyak goreng dari balik dapur untuk membangunkan mereka. Padahal perjuangan ibu di waktu itu semuanya dilakukan hanya untuk memberikan yang tebaik untuk nya. Kemudian selintas Rahma berucap di dalam hati, ”Astagfirullah, maafkan saya ibu”.
Tak lama kemudian motornya melewati seseorang yang di belakangnya beliau menarik sebuah gerobak yang berisi sesuatu di dalamnya. Isi dalam serobak itu memanglah tak terlihat karena tertutup oleh gelap. Tetapi, dalam fikiran Rahma dia tahu persis apa yang seseorang itu bawa. Gerobak itu berisi dengan sampah. Sampah yang beliau kumpul untuk menyambung hidup selepas subuh. Sampah yang sering kali di ributkan oleh masyarakat Jakarta kalau saja orang-orang seperti mereka ini berhenti satu hari saja untuk mengangkut sampah-sampah itu.
Namun banyak warga Jakarta yang tak segigih mereka untuk membuang sampah walau sepotong saja. Sampah di buang begitu saja dari dalam mobil ke jalan raya, ke kali-kali yang ada di Jakarta, atau membuang tumpukan sampah ke depan jalan raya merupakan beberapa kebiasaan yang masih terjadi di ibu kota Indonesia ini.
Tetapi yang lebih mengusik hati Rahma bukan hanya ini saja. Kemungkinan perlakuan yang mereka dapatkan dan semua orang seperti mereka dalam kehidupan bermasyarakat, ini yang paling mengusik hatinya. Kebanyakan dari kita memandang orang-orang ini dengan sebelah mata dan menjadikan mereka orang bawah. Merasa ketidak nyamanan yang di ekspresikan dengan tidak pantas saat bersama dengan mereka di karenakan sampah yang mereka bawa. Padahal tanpa adanya mereka, apakabar ya Jakarta?. Pastilah hamburan sampah menjadikan banjir berubah bukan lagi banjir air tetapi banjir sampah. Kemudian yang tidak mungkin tidak terlihat oleh mata Rahna adalah supir-supir angkutan umum dan para pengangkut barang, yang mengisi subuh hari dengan suara mesin dan langkah kakinya.
Mereka yang saling menemani kegiatan di waktu subuh yang masih gelap untuk saling memberikan manfaat antar sesama hingga waktu  petang yang sebenarnya yaitu malam.
Sungguh suatu yang luar biasa, perjuangan hidup orang-orang dalam himpit Jakarta.
Rahma jadi teringat sebuah ayat yang ia dengar di radio kemarin, ” ….Bersyukurlah kepada Allah!,sebab barang siapa yang bersyukur berarti dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sungguh Allah Maha Kaya dan Tumpuan puji.”. Rahma menjadi  berfikir bahwa hidup ini masih banyak yang harus di syukuri dan masih banyak yang harus di renungi.
Bersyukur atas sesuap nasi, bersyukur atas sebuah jabatan dan kekuasaan, besyukur atas secuil manisnya kehidupan yang masih perlu untuk di perjuangkan. Dan yang terpenting bukanlah apa yang telah di berikan dalam kehidupan kita selama ini, tetapi yang terpenting adalah kita tahu siapa yang telah memberikannya untuk kita.
“semoga hamba adalah termasuk dalam golongan orang yang mampu untuk belajar dan bersyukur atas apa yang telah Engkau berikan untuk hamba. Bukan seorang yang kufur akan nikmat-nikmat –Mu. Dan terjauh dari dosa kecil maupun besar, Amiin”, adalah sepotong doa yang Rahma panjatkan dari dalam hatinya setelah ia turun dari motor dan menuju pintu rumah. Rahma sangat bersyukur atas renungan ini yang begitu saja terfikirkan olehnya tanpa ia sengaja. Jalan belajar itu memang begitu banyak kalau kita sedikit saja mau untuk peka pada kehidupan di sekeliling kita. N