“Tuhan memberikan
hikmah kepada orang yang di kehendaki-Nya, barang siapa yang di beri-Nya hikmah
itu berarti dia telah mendapatkan kebaikan. Dan hanya orang yang mau
berfikirlah yang dapat mengambil pelajaran “ bunyi surat Al-Baqarah ayat 269
ini terdengar dalam telinga Rahma saat ini. Ia sedang mendengarkan radio dari
ponselnya, perjalanan yang cukup lama di isinya dengan mendengarkan radio agar
tidak terlalu bosan dalam perjalanan.
Ternyata mereka telah
sampai di depan jalan sekolah, Rahma kemudian turun dari mobil. Ia langsung
megambil barang-barangnya kemudian berjalan menunju ke sekolah. Tubuhnya masih
cukup lelah untuk berjalan walau beberapa meter saja. Liburan lima hari ke
Yogyakarta masih berbekas kala itu. Saat ini waktu menunjukkan pukul 4 pagi
menuju waktu subuh. Tak banyak yang menyempatkan diri untuk sebentar saja
berada di sekolah atau untuk melaksanakan shalat subuh berjama’ah di sekolah. Kebanyakan
dari mereka berniat menunggu penjemput untuk segera pulang ke rumah. Maklum, sekitar dua belas jam
perjalanan dari Yogya menuju Jakarta dengan sebelumnya sudah sejak pukul
delapan pagi mereka check out dari hotel. Kemudian mereka melanjutkan jadwal kunjungan
yang harus di kerjakan. Merupakan sebuah perjalanan yang melelahkan namun
sangat menyenangkan.
Adzan subuh telah
berkumandang. Rahma, beberapa teman dan guru-guru sekolahnya langsung
melaksanakan shalat subuh berjama’ah di musholah. Selepas shalat ternyata
ibunda Rahma telah berada didepan gerbang sekolah untuk menjemputnya.
Rahma melihat jalanan
yang cukup lengang dan kosong di sepanjang perjalanan. Hari yang masih pagi di
hari libur menyebabkan kemacetan belum terjadi di Jakarta. Ibu memboncengi
Rahma dengan sepeda motor kala itu, jadi seluruh kehidupan terlihat jelas dalam
penglihatan matanya. Jalan masih gelap karena matahari memang belum menampakkan
dirinya di Jakarta. Tetapi cahaya lampu cukup untuk menmbantu perjalanan sampai
ke rumah.
Sepanjang perjalanan
benak Rahma mulai berparadigma, dari balik cahaya terlihat sedikit bayang-bayang
kehidupan. Orang-orang yang hidup di dunia ini namun sering kali terabaikan dan
di lewati dengan begitu saja. Sebelum perjalanan ini –pun, telah ada sepenggal
bayangan yang di lewati oleh mata Rahma dalam gelapnya subuh hari ini.
Setelah turun dari
mobil dan sebelum sampai di depan gerbang sekolah ia melihat seseorang di pagi
buta itu. Seorang yang telah bercucur keringat dan perjuangan, ia adalah
seorang penyapu jalan raya. Selintas mata ini hal yang cukup biasa, tetapi
dalam selintas fikir ini di luar dari biasa. Pernahkah terfikirkan di subuh
hari banyak orang yang sulit bahkan harus tergopoh-gopoh untuk bangun
mengerjakan 2 rakaat shalat. Tetapi seseorang ini telah menyapui jalan dengan
tenaga dan keringat yang penuh dengan harapan. Banyak sekali orang yang masih
dalam keadaan mata yang jelek dan berdiri yang lesu untuk megucap takbir kepada
Allah swt. Tetapi seorang ini telah bersiap sebelum subuh berkumandang menuju
harinya dan menyambut gemuruh adzan, Subhanallah.
Tanpa sadar, hari-hari
kita ini harus merasa malu pada hal seperti ini yang jarang sekali orang mau
untuk berusaha memikirkan dan merenungkannnya. Membiarkan hidup kita terlenan
pada apa yang telah kita lakukan tanpa belajar banyak lagi pada orang lain atau
alam sekitar kita. Padahal Allah telah menyuruh kita untuk menjadikan setiap
kehidupan adalah pelajaran.
Jalan-jalan telah
terlintas, mata Rahma kini terjatuh pada seorang ibu yang duduk lesehan dengan
tumpukan sayuran di depannya. Dalam selintas mata ini sudah biasa, ibu penjual
sayur yang berjualan sayur di pagi hari. Karena kalau ibu ini berjualan di
siang hari pastilah sayur sudah menjadi layu dan tidak segar. Tetapi balik
layar seorang ibu pastilah tidak mungkin biasa. Sebelum waktu subuh, ibu
terbangun dalam lelap anak-anaknya. Ibu membersihkan rumah dan menyiapkan
sarapan untuk anak-anak dan suaminya. Kemudian ibu pergi ke pasar bersama bapak
yang belum berangkat bekerja untuk mencari sayuran. Sesampainya di pasar, ibu
memilih sayur kemudian bapak yang akan
memanggulnnya. Setelah semua di rasa cukup, di bawalah sayur ke tempat
penjualan, yaitu emperan toko yang belum membuka. Sungguh, bukankah keringat
itu menetes sebelum waktu subuh?.
Rahma menjadi berfikir,
begitu banyak anak bangsa seperti dia yang sulitnya untuk berterimakasih kepada
ibu untuk setiap subuh hari yang telah terjadi. Ibu yang telah membangunkan
mereka dari alam mimpi untuk sekedar dua rakaat
kewajiban mereka atau untuk keharusan mereka bersiap diri menyambut
kehidupan. Dan bahkan tanpa sadar banyak
dari mereka yang berkemul kembali tanpa memperdulikan suara ibu yang tersamar
bunyi minyak goreng dari balik dapur untuk membangunkan mereka. Padahal
perjuangan ibu di waktu itu semuanya dilakukan hanya untuk memberikan yang tebaik
untuk nya. Kemudian selintas Rahma berucap di dalam hati, ”Astagfirullah,
maafkan saya ibu”.
Tak lama kemudian
motornya melewati seseorang yang di belakangnya beliau menarik sebuah gerobak
yang berisi sesuatu di dalamnya. Isi dalam serobak itu memanglah tak terlihat
karena tertutup oleh gelap. Tetapi, dalam fikiran Rahma dia tahu persis apa
yang seseorang itu bawa. Gerobak itu berisi dengan sampah. Sampah yang beliau
kumpul untuk menyambung hidup selepas subuh. Sampah yang sering kali di
ributkan oleh masyarakat Jakarta kalau saja orang-orang seperti mereka ini
berhenti satu hari saja untuk mengangkut sampah-sampah itu.
Namun banyak warga
Jakarta yang tak segigih mereka untuk membuang sampah walau sepotong saja.
Sampah di buang begitu saja dari dalam mobil ke jalan raya, ke kali-kali yang
ada di Jakarta, atau membuang tumpukan sampah ke depan jalan raya merupakan
beberapa kebiasaan yang masih terjadi di ibu kota Indonesia ini.
Tetapi yang lebih
mengusik hati Rahma bukan hanya ini saja. Kemungkinan perlakuan yang mereka
dapatkan dan semua orang seperti mereka dalam kehidupan bermasyarakat, ini yang
paling mengusik hatinya. Kebanyakan dari kita memandang orang-orang ini dengan
sebelah mata dan menjadikan mereka orang bawah. Merasa ketidak nyamanan yang di
ekspresikan dengan tidak pantas saat bersama dengan mereka di karenakan sampah
yang mereka bawa. Padahal tanpa adanya mereka, apakabar ya Jakarta?. Pastilah
hamburan sampah menjadikan banjir berubah bukan lagi banjir air tetapi banjir sampah.
Kemudian yang tidak mungkin tidak terlihat oleh mata Rahna adalah supir-supir
angkutan umum dan para pengangkut barang, yang mengisi subuh hari dengan suara
mesin dan langkah kakinya.
Mereka yang saling
menemani kegiatan di waktu subuh yang masih gelap untuk saling memberikan
manfaat antar sesama hingga waktu petang
yang sebenarnya yaitu malam.
Sungguh suatu yang luar
biasa, perjuangan hidup orang-orang dalam himpit Jakarta.
Rahma jadi teringat sebuah ayat yang ia dengar di radio kemarin, ” ….Bersyukurlah kepada Allah!,sebab barang siapa yang bersyukur berarti dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sungguh Allah Maha Kaya dan Tumpuan puji.”. Rahma menjadi berfikir bahwa hidup ini masih banyak yang harus di syukuri dan masih banyak yang harus di renungi.
Rahma jadi teringat sebuah ayat yang ia dengar di radio kemarin, ” ….Bersyukurlah kepada Allah!,sebab barang siapa yang bersyukur berarti dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sungguh Allah Maha Kaya dan Tumpuan puji.”. Rahma menjadi berfikir bahwa hidup ini masih banyak yang harus di syukuri dan masih banyak yang harus di renungi.
Bersyukur atas sesuap
nasi, bersyukur atas sebuah jabatan dan kekuasaan, besyukur atas secuil
manisnya kehidupan yang masih perlu untuk di perjuangkan. Dan yang terpenting
bukanlah apa yang telah di berikan dalam kehidupan kita selama ini, tetapi yang
terpenting adalah kita tahu siapa yang telah memberikannya untuk kita.
“semoga hamba adalah
termasuk dalam golongan orang yang mampu untuk belajar dan bersyukur atas apa
yang telah Engkau berikan untuk hamba. Bukan seorang yang kufur akan
nikmat-nikmat –Mu. Dan terjauh dari dosa kecil maupun besar, Amiin”, adalah
sepotong doa yang Rahma panjatkan dari dalam hatinya setelah ia turun dari
motor dan menuju pintu rumah. Rahma sangat bersyukur atas renungan ini yang
begitu saja terfikirkan olehnya tanpa ia sengaja. Jalan belajar itu memang
begitu banyak kalau kita sedikit saja mau untuk peka pada kehidupan di sekeliling
kita. N